Sejarah Ejaan Kita


Dalam sejarah sastra kita, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian ejaan. Ejaan yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah ejaan Van Ophuysen yang mulai berlaku sejak tahun 1901. Ejaan bahasa melayu ini sendiri didasarkan atas rancangan CH. A. Van Ophuysen dengan bantuan Engku Nawawi Soetan Ma’moer dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim. Selanjutnya, upaya penyempurnaan terhadap ejaan ini terus dilakukan. Diantaranya yaitu pada tahun 1938, ketika kongres Bahasa Indonesia pertama kali dilakukan di Solo. Pada kongres tersebut disarankan agar ejaan Indonesia lebih diinternasionalkan.

Huruf-huruf Van Ophuysen yang bisa kita kenali saat ini diantaranya adalah ch, dj, sy, nj, sj, tj, oe, dan ada pula bunyi hamzah (). Beberapa peraturannya seperti penghilangan huruf antara W antara lain dalam kata doeit (duit), goeraoean (gurauan), dan terdapat pula aturan penggunaan angka 2 untuk kata ulang yang kata-katanya diulang sepenuhnya tetapi tidak berlaku untuk kata ulang yang hanya diulang sebagian. Jadi laki-laki, lajang-lajang, koeda-koeda, boleh ditulis laki2, lajang2, koeda2, tetapi berlari-lari, bersama-sama, tidak boleh ditulis berlari2, bersama2.

Setelah ejaan Van Ophuysen, ejaan yang berlaku kemudian adalah Ejaan Republik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan No. 264/Bhg.A tanggal 19 Maret 1947 ketika Soewandi menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ejaan yang juga sering disebut dengan Ejaan Soewandi ini adalah upaya penyederhanaan dan penyelarasan atas ejaan yang sudah ada, yaitu ejaan Van Ophuysen.

Beberapa perubahan yang terdapat dalam ejaan Soewandi ini antara lain, huruf e pepat (e`) cukup ditulis e, bunyi hamzah ( ) dihilangkan dan diganti dengan huruf k untuk sebagian kata. Jadi, tak ada lagi kata ra’yat atau jum’at, tetapi diganti dengan kata rakyat atau jumat. Demikian pula dengan pengulangan boleh ditulis dengan angka 2, akan tetapi tetap harus dilihat bagian yang diulangnya, misalnya mudah2an, ber-lari2an, dan me-mata2i.

Ejaan berikutnya yang berlaku adalah ejaan Melindo (Melayu – Indonesia) yang merupakan ejaan yang diputuskan oleh sidang perutusan Indonesia dan Malaysia yang diketuai oleh Slamet Muljana dari Indonesia dan Syed Nasir bin Ismail dari Malaysia pada tahun 1959. kesepakatan tersebut merupakan tindak lanjut dari perjanjian persahabatan Indonesia dengan Malaysia. Akan tetapi, Ejaan Melindo urung diresmikan lantaran perkembangan politik.

Akhirnya, berdasarkan komunike bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Mashuri) dan Menteri Pelajaran Malaysia (Hussein Onn), rancangan tersebut disetujui untuk dijadikan bahan dalam upaya bersama bagi pengembagan bahasa nasional kedua negara. Berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 062/67 tanggal 19 September 1967, disahkan sebuah Panitia Ejaan bahasa Indonesia. Panitia inilah yang kemudian bertugas untuk melanjutkan pekerjaan panitia Ejaan Melindo.

Setelah sebelumnya diseminarkan di Puncak, Jawa barat, dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972 No.03/A.I/72 serta keputusan Presiden no. 57 tahun 1972, Rancangan Ejaan Melindo kemudian diresmikan dengan nama Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan ini kemudian lebih disempurnakan lagi pada tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/u/1987 tanggal 9 September 1987. perubahan yang cukup mendasar pada EYD adalah tidak dipergunakannya lagi angka 2 untuk menuliskan bentuk ulang pada sebuah kata dan istilah. Selain itu terdapat pula perubahan oenulisan huruf dj menjadi Y, dj menjadi J, nj menjadi Ny, Ch menjadi Kh, tj menjadi C, dan Sj menjadi Sy. Maka, ejaan inilah yang masih kita pergunakan lagi sampai saat ini.

Sumber :

Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta : Penerbit ANDI

3 thoughts on “Sejarah Ejaan Kita

Leave a comment