AirAsia Blogger Community (AABC) 2015 Part III : Pesan Makan? Jangan Panggil Mas-Mas dan Mbak-Mbak di Thailand


Hai, seperti janji sebelumnya, saya akan melanjutkan cerita seputar AirAsia Blogger Community 2015 di Bangkok. Di bagian ini, saya akan bercerita tentang hari pertama keseruan kami. Yuuk.

+++

Hari pertama di Bangkok. Setelah meletakkan barang-barang di dalam kamar yang ada di lantai 21 Eastin Grand Hotel dan berganti celana pendek, saya buru-buru pergi meninggalkan hotel untuk membeli sim card. Bagi saya, penting sekali untuk mencari sim card sesegera mungkin karena komunikasi dengan rekan-rekan kerja di tanah air tetap tidak boleh putus. Sejumlah tugas pekerjaan menuntut saya untuk tetap berkomunikasi dengan mereka.

Di Thailand, sim card bisa diperoleh di swalayan-swalayan terdekat, dengan jenis dan harga yang beragam. Swalayan-swalayan macam 7Eleven (Seven Eleven) menyediakan berbagai merek tergantung kebutuhan. Mulai dari sim card biasa, micro sim card, sampai nano sim card.

Dari Indonesia, sebenarnya saya sudah membawa sim card Thailand yang sudah saya peroleh sebelumnya. Tetapi saat hendak mengisi pulsa dan melakukan aktivasi paket data, petugas di Sevel kehabisan saldo. Terpaksa, saya membeli sim card perdana dengan harga 49 baht. Kalau dikurskan, ini hampir setara Rp 25 ribu di Indonesia. Wajib diketahui, untuk membeli sim card Thailand, warga negara asing harus menunjukkan paspor. Untungnya selama di Bangkok, paspor tidak pernah saya tinggal di kamar hotel. Selalu saya bawa ke mana-mana.

Usai membeli sim card, tujuan saya berikutnya adalah mencari mesin ATM untuk menarik uang. Dari Indonesia, memang saya sudah membawa persediaan sekitar 300 baht. Tetapi saya tidak yakin uang ini bakal cukup untuk plesiran saya di hari pertama. Sayang, walau sudah berjalan cukup jauh, sekitar dua jam di tengah panas yang terik, mesin ATM CIMB Thai yang saya cari tidak kunjung ketemu. Yang lebih banyak saya temui justru ATM milik Bangkok Bank.

Maka saya putuskan saja kembali ke hotel untuk beristirahat. Tapi sebelum tiba di hotel, di tengah jalan saya bertemu Wira Nurmansyah dan mas Tekno Bolang. Keduanya baru saja makan siang dan hendak berkeliling Bangkok untuk berburu foto. Maka niat kembali ke hotel pun saya urungkan. Saya memilih bergabung bersama mereka.

Selama beberapa jam, kami berjalan kaki menyusuri jalanan kota Bangkok sembari mencari swalayan yang menjual sim card sesuai dengan spesifikasi ponsel milik mereka berdua masing-masing. Rupanya, hari itu swalayan yang kami kunjungi sedang kehabisan stok dagangan sim card nano seperti diminta Wira dan mas Tekno.

Untungnya, setelah berjalan cukup lama, kami tiba di jalanan Charoen Krung. Di sana berdiri megah pusat perbelanjaan Centre Point. Karena mas Tekno Bolang butuh juga membeli CD (baca : Celana Dalam) untuk persediaan selama extend di Bangkok, kami bertiga pun masuk ke dalam mal. Di pusat perbelanjaan yang sama, kami juga menemukan konter penyedia layanan seluler. Di sana, sim card yang dibutuhkan mas Tekno dan Wira pun ada. Jadilah mereka berdua mengaktifkan nomor barunya di konter tersebut.

Keluar dari Centre Point, dari kejauhan saya melihat neon box warna merah bertuliskan CIMB Thai. Nah! Ini dia yang saya cari. Sebelumnya neon box ini tidak terlihat oleh saya karena semaraknya umbul-umbul yang dipasang melintang di sepanjang ruas jalan Charoen Krung. Saya tidak tahu pasti, dalam rangka apakah umbul-umbul ini dipasang. Penuh umbul-umbul di Charoen Krung Road Setelah menarik uang 1000 baht dari ATM, saya minta waktu kepada mas Tekno dan Wira untuk makan sebentar. Sore itu perut saya sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Maklum, sejak dari bandara Soekarno Hatta, hanya makan sepotong roti.

Di sebuah warung kecil di Charoen Krung 44 Alley, tidak jauh dari Shangri-La Hotel, saya memesan Chicken Roasted Noodle dan sebotol minuman Cola. Chicken Roasted Noodle Seperti kuliner ala Thailand lainnya, sajian yang saya makan ini kental dengan rasa asam dari cuka. Untuk menambah rasa pedas, tidak sama dengan Indonesia yang kerap menggunakan sambal. Di Thailand, kedai-kedai makanan lebih banyak menyediakan potongan cabe segar yang sudah direndam cuka serta bubuk cabe yang sudah dikeringkan. Harga semangkok besar makanan ini, sekitar 60 baht. Ditambah dua botol minuman, saya harus membayar total 90 baht.

Setelah saya tuntas dengan makanan, kami bertiga melanjutkan berjalan kaki kembali ke hotel dengan memilih jalan memutar, melewati Silom Road, Pramuan Road, sampai tiba di Sathorn Tai Road, di mana hotel tempat kami menginap ada.

Sampai di hotel sudah hampir pukul 17.00 WIB. Tetapi suasana di luar masih terasa seperti siang. Masih cukup panas. Kaki juga sudah terasa pegal-pegal. Di kamar, tubuh ini langsung saya banting di atas ranjang. Saya tertidur pulas selama hampir sejam dan terbangun gara-gara kaki mendadak kram. Duh!

Jangan Panggil Mas atau Mbak di Thailand

Lewat jam 7 malam, Nia yang terbang belakangan, akhirnya sudah tiba di hotel. Dia sempat terjebak kemacetan selama dua jam dalam perjalanan dari bandara Don Mueang ke hotel. Begitu tiba di hotel, PR AirAsia Indonesia ini langsung mengajak kami bertiga—saya, mas Tekno Bolang, dan Wira—mencari jajanan. Setelah berdiskusi singkat, tempat yang kami pilih untuk sambangi adlaah Asiatique Riverfront.

Kami berempat berangkat lebih dulu. Sementara blogger lain, Mita, mbak Noe, Teppy, dan Heidy Kalalo menyusul belakangan. Empat perempuan ini baru tiba di Asiatique saat kami berempat sudah menghabiskan dua porsi suki di Soul Shabu. makan malam rame-rame di Soul Shabu, Asiatique Riverfront

Soul Shabu adalah kedai All You Can Eat. Jadi kalau masih belum puas makan, silakan memesan lagi sebanyak-banyaknya. Harga tetap per-orang, tidak peduli berapa banyak yang masuk ke dalam perut. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan makan sampai puas, Nia berkali-kali memanggil pelayan untuk menambah hidangan ke atas meja.

Lucunya, Nia justru lebih banyak dicuekin pelayan saat meminta tambahan makanan. Bagaimana tidak dicuekin, lha dia manggil pelayannya dengan panggilan “mas dan mbak”. Jelas dong mereka nggak paham. Tapi memang kami semua agak bingung bagaimana cara manggil para pelayan ini. Dipanggil miss atau sir, rasanya kok kurang siip. Tapi mau tidak mau hanya itu yang kita tahu.

Setelah perut kenyang, kami masih jalan-jalan sebentar di kawasan Asiatique sambil foto-foto dengan latar belakang bianglala, memasang gembok cinta di pagar sebuah taman buatan. Gembok cinta dibikin ala gembok cinta di Jembatan Sungai Seine di Perancis. Setelah gembok seharga 200 baht dipasang, kunci harus dibuang ke dalam sungai Chao Praya. BianglalaGembok cinta ala Asiatique Riverfront Sudah jam 11 malam. Kami buru-buru mencari taksi dan kembali ke hotel. Besok, kami harus bangun pagi-pagi untuk siap-siap mengikuti ajang photo hunt. Yang jelas, hari itu saya cukup puas bisa bersenang-senang dengan blogger-blogger Indonesia lain yang ikut serta dalam AABC 2015. Kami yang sebelumnya tidak kenal satu sama lain, sudah mulai akrab. Terimakasih AirAsia untuk persahabatan baru kami. Lain kali ajak kami jalan-jalan lagi ya 🙂

Leave a comment